Langsung ke konten

Langsung ke daftar isi

Kunci Kebahagiaan Keluarga

Mengajar Anak Bertanggung Jawab

Mengajar Anak Bertanggung Jawab

Robert: a ”Setiap malam, hal yang sama terjadi. Riki, putra saya yang berusia empat tahun, membiarkan mainannya berserakan di mana-mana. Sebelum menidurkan dia, saya mencoba menyuruhnya membereskan semua. Tetapi, Riki menjadi histeris, menjerit-jerit dan mengamuk. Kadang-kadang, saya begitu frustrasi sehingga saya membentaknya, tetapi suasana malah menjadi lebih buruk. Saya ingin agar waktu sebelum tidur menyenangkan. Maka, saya pun berhenti mencoba dan merapikan sendiri semuanya.”

Amelia: ”Problemnya berawal sewaktu putri saya Yeni, 13 tahun, sulit memahami suatu tugas sekolah yang diberikan gurunya. Yeni menangis selama sejam sepulangnya dari sekolah. Saya menyarankan untuk meminta bantuan, namun Yeni berkeras bahwa gurunya pemarah, sehingga dia tidak berani berbicara kepadanya. Saya tergoda untuk langsung pergi ke sekolah dan menegur sang guru. Saya merasa bahwa tidak ada yang berhak membuat putri kesayangan saya tidak bahagia!”

APAKAH Anda kadang-kadang merasa seperti Robert dan Amelia? Seperti contoh di atas, banyak orang tua tidak senang melihat anaknya bergumul mengatasi problem atau merasa tidak bahagia. Wajarlah kalau orang tua berupaya melindungi anak mereka. Akan tetapi, situasi yang digambarkan di atas sebenarnya memberi kedua orang tua tersebut kesempatan untuk mengajar anak mereka sesuatu yang berharga, yaitu untuk bertanggung jawab. Tentu saja, apa yang dapat dipahami seorang anak usia 4 tahun berbeda dengan anak usia 13 tahun.

Faktanya, Anda tidak akan selalu bisa melindungi anak Anda dari berbagai problem dalam kehidupan. Pada akhirnya, seorang anak akan meninggalkan bapak serta ibunya dan ”memikul tanggungannya sendiri”. (Galatia 6:5; Kejadian 2:24) Agar anak-anak bisa mengurus diri sendiri, fokus orang tua haruslah pada tujuan untuk mengajar mereka menjadi orang dewasa yang tidak mementingkan diri, peduli, serta bertanggung jawab. Itu bukan tugas yang mudah!

Syukurlah, orang tua mempunyai teladan yang sangat bagus dalam diri Yesus dan cara ia berinteraksi serta melatih murid-muridnya. Yesus sendiri tidak pernah menjadi orang tua. Tetapi, tujuannya memilih dan melatih murid-muridnya adalah agar mereka dapat meneruskan pekerjaan itu, bahkan setelah ia pergi. (Matius 28:19, 20) Apa yang Yesus hasilkan mirip dengan tujuan yang ingin dicapai setiap orang tua dalam membesarkan anak mereka, yakni untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Perhatikan tiga aspek saja dari teladan Yesus bagi orang tua.

’Tetapkan Pola’ bagi Anak Anda

Menjelang akhir kehidupannya, Yesus berkata kepada murid-muridnya, ”Aku menetapkan pola bagimu, agar, sebagaimana yang telah kulakukan kepadamu, kamu harus melakukannya juga.” (Yohanes 13:15) Demikian pula, orang tua perlu menjelaskan dan menunjukkan melalui contoh apa persisnya yang dimaksud dengan bertanggung jawab.

Renungkanlah: ’Apakah saya sering berbicara dengan nada positif tentang memenuhi tanggung jawab saya sendiri? Apakah saya berbicara tentang kepuasan yang saya peroleh karena bekerja keras untuk orang lain? Atau, apakah saya sering mengeluh dan membandingkan diri dengan orang yang kelihatannya hidup lebih enak?’

Memang, tidak ada orang yang sempurna. Kita semua sewaktu-waktu merasa terlalu terbebani. Namun, teladan Anda mungkin adalah cara yang paling ampuh untuk membantu anak Anda melihat manfaat dan pentingnya perilaku yang bertanggung jawab.

COBALAH INI: Jika mungkin, sekali-sekali ajaklah anak Anda ke tempat kerja dan tunjukkan apa yang Anda lakukan untuk menafkahi keluarga. Sewaktu menolong orang yang membutuhkan, ikut sertakan anak Anda. Setelah itu, utarakan perasaan senang Anda karena melaksanakan tanggung jawab tersebut.​—Kisah 20:35.

Miliki Harapan yang Masuk Akal

Yesus mengakui bahwa perlu waktu sebelum murid-muridnya siap menjalankan peranan dan tanggung jawab yang ia harapkan dari mereka. Ia pernah mengatakan kepada mereka, ”Masih banyak hal yang harus aku katakan kepadamu, tetapi kamu tidak sanggup menanggungnya sekarang ini.” (Yohanes 16:12) Yesus tidak langsung meminta murid-muridnya melakukan sesuatu tanpa bimbingan. Tetapi, ia menggunakan banyak waktu untuk mengajar mereka berbagai hal. Baru setelah murid-muridnya dianggap siap, Yesus mengutus mereka untuk pergi sendiri.

Demikian pula, tidaklah masuk akal jika orang tua meminta anak-anak menjalankan tanggung jawab orang dewasa sebelum mereka siap. Meskipun begitu, seraya mereka bertambah besar, orang tua hendaknya menentukan tugas dan pekerjaan apa saja yang cocok bagi mereka. Misalnya, orang tua perlu mengajar anak mereka untuk bertanggung jawab atas kebersihan fisik, membersihkan kamar sendiri, tepat waktu, dan menggunakan uang dengan bijaksana. Sewaktu seorang anak mulai bersekolah, orang tua hendaknya menyadarkan dia bahwa tugas sekolahnya adalah tanggung jawab penting yang harus dipenuhi.

Orang tua perlu berbuat lebih dari sekadar memberikan tanggung jawab kepada anak mereka. Mereka juga harus mendukung upaya sang anak agar berhasil. Robert, ayah yang disebutkan sebelumnya, menyadari bahwa sebagian dari alasan Riki merasa sangat kesal ketika disuruh merapikan mainannya ialah karena tugas itu tampaknya begitu besar. ”Ketimbang hanya membentak-bentak Riki untuk memungut mainannya,” kata Robert, ”saya mencoba mengajarnya suatu sistem untuk melaksanakan tugas itu.”

Apa yang secara spesifik ia lakukan? ”Pertama-tama,” kata Robert, ”saya menentukan kapan ia harus memungut mainannya setiap malam. Lalu, saya bekerja bersamanya, merapikan ruangan bagian demi bagian. Saya menjadikan tugas itu menyenangkan, misalnya dengan berlomba siapa yang paling cepat selesai. Proses itu segera menjadi bagian dari rutinitas sebelum waktu tidur. Saya berjanji kepada Riki bahwa kalau ia cepat selesai, saya akan membacakan satu cerita ekstra sebelum tidur. Tetapi, kalau ia berlambat-lambat, waktu untuk cerita akan dipersingkat.”

COBALAH INI: Analisis apa yang secara masuk akal bisa diharapkan untuk dilakukan anak Anda yang akan meringankan tugas rumah tangga. Renungkanlah, ’Apakah ada hal-hal yang masih saya lakukan untuk anak saya yang bisa ia lakukan sendiri?’ Kalau begitu, bekerjalah bersama anak Anda sampai Anda yakin ia dapat mengerjakan sendiri tugas itu. Tandaskan bahwa akan ada konsekuensinya, entah baik atau buruk, bergantung pada seberapa baik ia melaksanakan tugasnya. Kemudian, terapkan konsekuensinya atau berikan hadiah.

Berikan Instruksi Spesifik

Seperti setiap guru yang baik, Yesus tahu bahwa cara terbaik untuk belajar adalah melalui praktek. Sebagai contoh, ketika Yesus merasa bahwa saatnya sudah tepat, ia mengutus murid-muridnya ”berdua-dua mendahuluinya ke setiap kota dan tempat yang akan ia kunjungi”. (Lukas 10:1) Namun, ia tidak membiarkan mereka begitu saja tanpa bantuan. Sebelum mengutus mereka, ia memberikan banyak instruksi yang sangat spesifik. (Lukas 10:2-12) Sewaktu murid-murid kembali dan melaporkan sukses mereka, Yesus memuji dan membesarkan hati mereka. (Lukas 10:17-24) Ia menyatakan keyakinannya akan kemampuan mereka dan juga perkenannya.

Pada waktu anak Anda menghadapi tugas yang sulit, bagaimana reaksi Anda? Apakah Anda berupaya melindungi anak Anda dari hal-hal yang ia cemaskan, dari kekecewaan dan kegagalan? Secara naluriah, reaksi pertama Anda bisa jadi ingin ”menyelamatkan” dia atau mengambil alih beban itu.

Tetapi, cobalah pikir: Setiap kali Anda langsung turun tangan dan ”menyelamatkan” anak Anda dengan cara tertentu, pesan apa yang Anda berikan? Apakah Anda menunjukkan bahwa Anda yakin akan dirinya dan percaya akan kemampuannya? Atau, apakah Anda memberi kesan bahwa Anda masih menganggapnya sebagai anak kecil yang tak berdaya yang harus bergantung pada Anda dalam segala sesuatu?

Misalnya, bagaimana Amelia, yang disebutkan sebelumnya, mengatasi problem putrinya? Ketimbang turun tangan, ia memutuskan untuk membiarkan Yeni sendiri berbicara kepada gurunya. Amelia dan Yeni bersama-sama menulis sederet pertanyaan yang akan diajukan. Lalu, mereka menentukan waktu yang tepat untuk berbicara kepada sang guru. Mereka bahkan berlatih bagaimana kira-kira pembicaraan itu nantinya. ”Yeni mengerahkan keberanian untuk mendekati gurunya,” kata Amelia, ”dan sang guru memuji inisiatifnya. Yeni sangat bangga akan dirinya, dan saya juga.”

COBALAH INI: Tulislah kesulitan yang sedang dihadapi anak Anda. Lalu, tulislah apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu dia menghadapinya tanpa ”menyelamatkan” dia. Berlatihlah bersama anak Anda langkah-langkah yang perlu diambil. Nyatakan keyakinan Anda akan kemampuan sang anak.

Jika Anda selalu melindungi anak Anda dari kesukaran, Anda bisa jadi malah menghambat kemampuannya untuk mengatasi tantangan dalam hidup ini. Sebaliknya, kuatkan anak Anda dengan mengajar dia untuk dapat menjalankan tanggung jawab. Itulah salah satu pemberian yang paling berharga untuk anak Anda.

a Nama-nama telah diubah.

RENUNGKANLAH . . .

  • Apakah yang saya harapkan dari anak saya realistis?

  • Apakah saya memberi tahu maupun menunjukkan apa yang perlu ia lakukan agar sukses?

  • Kapan terakhir kali saya membesarkan hati atau memuji anak saya?